Foto : Ekskavator sedang melakukan proses pengerukan lahan di lokasi tambak udang Suryawangi. (zaa/opsintb.com)
OPSINTB.com - Tambak udang di Pantai Suryawangi, Kecamatan Labuan Haji, Lombok Timur, tak hanya diduga melanggar aturan tentang Tata Ruang. Tapi, membuat nelayan setempat harus menelan pil pahit. Mereka harus terusir dari lokasi yang biasanya ditempati untuk melaut.
Tak hanya nelayan, ternyata perusahaan tambak tersebut diduga belum membayar taliasih lahan warga yang telah dijanjikan.
Kepada ospsintb.com, beberapa waktu lalu, salah seorang nelayan yang tak ingin disebutkan namanya, menceritakan kesulitannya madak (melaut) di tempat baru tersebut. Menurut mereka, lokasi saat ini yakni di sebelah barat merupakan muara ombak. Ia mengaku, mereka telah berkomunikasi dengan pemerintah kelurahan dan kecamatan agar tetap ditempat semula.
"Katanya kalau kita pindah ke barat pihak perusahaan sanggup membayarkan kita lahan ini (yang ditempati sekarang)," ujarnya sambil matanya tertuju pada perahunya yang terparkir.
Jawaban yang didapatinya, lurah setempat bakal mencoba berkomunikasi dengan pemerintah di atasnya. Lantaran izin itu bukan dari kelurahan melainkan Pemprov.
Tetapi tetap saja mereka dipaksa berpindah tempat oleh petugas dari kepolisian serta salah satu Kasi di kelurahan. Dengan diimingi lahan yang kini ditempatinya dibayarkan perusahaan, dan dibuatkan bangunan pemecah gelombang.
"Kalau kita ingin tetap di timur, tapi karena dipaksa ya kita terpaksa ikuti. Karena ada janji juga kita akan dibayarkan lahan yang ada di barat itu," tuturnya.
Jika tak kunjung dibayarkan sesuai dengan janji, mereka ngaku bakal menuntut. Lantaran lahan yang ditempati itu adalah miliknya warga. Mereka takut, jika lahan itu tak dibayarkan, tak menutut kemungkinan bakal diusir oleh pemiliknya.
Jika pun diusir, nelayan setempat mengaku sadar diri. Lantaran lahan yang ditempatnya itu bukan haknya.
Menurutnya, nelayan sampai saat ini masih menahan diri tak ingin ribut. Kendati desakan dari semua pihak diminta untuk bersuara.
"Yang namanya demo, yang rugi anak-anak kami. Itu semua yang kami pikirkan," ujarnya.
Cerita yang sama juga datang dari pemilik lahan yang terkena dampak aktivitas tambak tersebut, Amaq Ji, dirinya tak mau melepas lahan yang berada di pinggir rumahnya lantaran harga yang ditawarkan murah, hanya ditawari Rp 25 ribu per meter.
"Pertama hanya Rp 50 ribu, bahkan turun Rp 25 ribu," sebutnya.
Jika dengan harga segitu dirinya mempersilahkan agar yang bersangkutan mengambil tanah menggunakan baskom. Ia menginginkan kedua belah pihak sama-sama enak.
Dari pemilik lahan, kata dia, mematok harga Rp 1 juta. Besaran itu yang menurutnya paling pas, dan tidak memberatkan perusahaan.
Namun demikian, dirinya mengaku tak berani bersuara lebih keras lagi. Lantaran takut, terlebih saat ini dirinya mengaku mendapat banyak ancaman, sehingga lebih memilih diam. Di lain sisi, ia mengaku tak tahu mau berlindung kemana.
Dikatakannya, di satu waktu dirinya telah dipanggil secara diam-diam ke rumah Rukun Tangga (RT) setempat, dihadapkan dengan sejumlah orang termasuk aparat kepolisian setempat, petugas kelurahan, serta kuas hukum perusahaan untuk dinego soal harga.
"RT sendiri yang memanggil saya ke sana, maunya saya di kelurahan," pungkasnya.
Dirinya dituding jadi dalang, menghalangi keberadaan tambak itu. Di lokasi itu tuturnya, dirinya mengaku mendapat intimidasi. Jika bersikukuh dengan sikapnya itu, dirinya ditakuti bakal berurusan dengan kepolisian, dari Polres hingga Polda.
Menurutnya, tak ada hubungan Polda seperti yang disebutkan oleh Polmas setempat. Urusannya dengan pihak perusahaan, berupa ganti rugi lantaran pihak tambak telah bersedia membayar lahan miliknya.
Padahal, apa yang diperbuatnya hanya menuntut haknya, ganti rugi lahan miliknya sesuai dengan perjanjian awal yang dilaksanakan di kantor Lurah. Sampai-samapi, ia mengaku ditanya soal dasar dokumen kepemilikan hak tanah yang dimilikinya.
Prihal itu, ia mengaku kepemilikan surat tanah itu melalui proses yang sah. Dan dirinya berani mempertanggung jawabkan hal tersebut.
"Jangankan Polda, silahkan lapor ke Presiden. Karena saya tidak punya salah. Tapi kalau saya dibawa malam ini silahkan jamin keluarga saya, kasi dia makan Rp 500 ribu perhari," tuturnya.
Sampai saat ini ia belum menerima bayaran atas tanahnya tersebut seperti yang dijanjikan. Awalnya pihak perusahaan, meminta tanahnya seluas 1 meter, tapi tak berselang lama pihak tambak meminta 6 meter. Namun semuanya gagal, yang jadi 2 meter.
Kendati terus ada permintaan, dirinya mengaku tak pernah diberitahukan soal harga. Lantaran itu, warga terdampak di wilayah setempat ingin menuntut haknya.
"Warga ngajak menuntut, tapi saya tidak tahu mau nuntut kemana," terangnya.
Menurut informasi yang didapatinya dari salah seorang pesuruh perusahaan setempat, uang debu itu include dengan ganti rugi.
Lantaran itu dirinya meminta hal itu diperjelas. Sebab, menurut dia, namanya saja sudah berbeda.
Mendengar hal itu, ia mengaku darahnya mendidih. Tapi apa hendak dikata, dirinya tak mampu melawan orang-orang besar itu.
Ia pernah diberikan uang Rp 3 juta di masjid, berupa bantuan sosial. Sebalik itu dirinya diminta untuk diam.
Tapi dalam hati, ucapnya, tetap saja berbeda antara bantuan sosial dengan ganti rugi. Terlebih bahanya untuk membangun tempat mengaji.
Ia mengaku faham, izin tambak berasal dari pemerintah. Namun urusan ganti rugi sebutnya tetap menjadi kewajiban perusahaan.
"Mau kita ganti rugi. Juga pekerja harus dari masyarakat jangan hanya orang-orangnya dia saja," ucapnya.
Senada, pemilik lahan lainnya, Saiful, mengakui juga belum menerima uang ganti rugi atas lahannya tersebut. Kendati dulu, ia memiliki perjanjian di Kantor Lurah persoalan tersebut.
"Sedangkan di bagian barat sudah dibayar, saya hanya dikasi uang dampak hanya Rp 500 ribu," ujarnya.
Ia mengaku, telah berusaha untuk menagih haknya itu tapi sampai saat ini belum ada hasil. Menurutnya, pihak perusahaan hilang ditelan bumi setelah pertemuan di kantor lurah setempat.
"Kita ini orang tak berada, lagi kita di perlakukan seperti ini. Pokoknya tak bisa menang," ujarnya.
Luhar Suryawangi, Ziat Wijaya mengatakan, masyarakat yang terkena dampak sudah menerima uang tali asih, menurutnya tak ada yang keberatan. Jalan disekitar itu juga, kata dia, sudah diperlebar.
"Itu taliasih, kalau bayar membayar itu bukan kewenangan saya ngomong," ujarnya.
Dengan suara sedikit keras dia mengatakan, jika nantinya tambak itu beroperasi pihaknya bakal mengusahakan persentase karyawan akan lebih besar dari wilayah setempat. Tapi jika bicara tenaga teknis menurutnya tak bisa, lantaran terkendala SDM.
Saat disinggung jika usaha itu tak terwujud, Ziat berdalih itu kewenangan dari perusahaan. Menurutnya, pemerintah berkewajiban untuk memperhatikan warga sekitar.
"Catat ya, kewajiban kita hanya untuk memperhatikan warga masyarakat sekitar," ujarnya.
Ziat mempersilahkan, siapa pun yang keberatan silahkan mendatanginya. Seperti para nelayan, kata dia, yang tak setuju tempat biasanya menyadarkan sampannya digusur, pihaknya telah merelokasi ke tempat lain, dan dibuatkan hal serupa di sebelah barat dekat sungai.
Ia mengatakan, kejadian semacam itu di tengah masyarakat sudah lumrah. Lantaran dirinya menuding ada saja yang mempengaruhinya. Menurutnya keberadaan tambang itu memiliki dampak positif.
"Karena kan sudah ngomong pak Bupati, kita tak boleh menghalang-halangi investasi, kalau itu untuk kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat sekitar. Harapan saya sebagai Lurah keberadaan tambak akan memberikan dampak yang positif," bebernya.
Sementara itu, media ini mencoba menghubungi Bagian Tata Ruang di Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Lombok Timur, untuk menanyakan langsung soal tata ruang, hingga saat ini belum ada jawaban. Wartawan media ini juga sudah mencoba kontak, Kepala Dinas PUPR, namun hanya dijanjikan hari saja.
Sampai berita ini ditayangkan, media ini belum mendapatkan konfirmasi dari perusahaan kendati sudah mencoba. (zaa/tim)
follow OPSINTB.com | News References dan dapatkan update informasi kami di twitter
Follow OPSINTB.com | News References dan dapatkan update informasi kami di Instagram
follow Instagram Kami