OPSINTB.com - Petemalian agama dan budaya selalu seja melahirkan nilai luhur. Menjadikannya pelaksanaan yang syarat nilai. Salah satunya ialah tradisi Maleman. Yang dilaksanakan di malam-malam ganjil pada sepuluh hari terakhir.
Pelaksanaan tradisi Maleman di Gumi Lombok, terbilang merata di semua desa, tak terkecuali di Desa Songak.
Kepala Bidang Pencatatan Nilai Budaya dan Pemeliharaan Peninggalan Cagar Budaya di Lembaga Adat Darmajagat , Saepul Hakkul Yakin mengatakan, tradisi Maleman, lahir sebagai pengingat turunnya Al Quran pada bulan Ramadhan. Malam-malam ganjil, diyakini waktu turunnya Lailatul Qadar.
"Tradisi Maleman merupakan perpaduan antara nilai adat dan nilai agama Islam," kata pria yang karib disapa Epol ini, Sabtu malam (22/03/2025).
Kendati demikian, kata dia, pelaksanaan tradisi ini dengan berbeda-beda. Ada yang pelaksanaannya hanya satu malam ganjil, didapati juga digelar setiap malam ganjil tiba.
Di Songak sendiri terangnya, dilaksanakan setiap malam ganjil tiba yakni malam 21, 23, 25, 27, dan 29.
Pelaksanaan tradisi ini pun berdasarkan hadist Rasulullah yang mengatakan, Al Quran diturunkan di sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan.
Menurut penuturan orang tua setempat, Quran turun sebagai cahaya penerang saat manusia dalam keadaan dzulumat atau hidup dalam kegelapan.
Dalam surat Al Baqaroh ayat 185, kata dia, tertulis jelas Quran diturunkan sebagai petunjuk bagi umat manusia. Di ayat lain mengatakan, Al Quran adalah cahaya seperti di surah Al Maidah, An Nisa, At Thagabun, dan Al A'raf.
"Itu dasarnya diperingati dengan menyalakan lampu," ucapnya.
Cahaya itulah yang kemudian terwujud kedalam tradisi tersebut. Yakni berupa penerang saat hari baru mulai gelap.
Pelaksanaan tradisi satu ini, dilakukan setelah berbuka puasa. Di tiap-tiap rumah pada saat pelaksanaan tradisi ini mematikan lampunya, lalu diganti dengan Dila Maleman yang ditaruh di tiap rumah hingga pekarangan.
"Mereka boleh menyalakan lampu setelah Dila Maleman ini mati dengan sendiri," ucapnya.
Dila maleman atau di desa lain disebut dengan dila jojor ini terbuat dari kapas yang dicampur dengan buah Jarak. Itu mengapa, lampu ini memiliki bau yang khas.
Pelaksanaan tradisi ini tentu ada pergeseran. Menurut tetua di Songak, dulunya pelaksanaan tradisi ini ditandai dengan pemukulan beduk di masjid.
Sembari kiyai berdoa, masyarakat pun mulai menyalakan lampu tradisional tersebut dan ditaruh di sudut rumah dan pekarangan.
Sembari masyarakat, yang mendengarkan doa berucap, Amiin.
Pergeserannya ialah saat ini, masyarakat tak perlu lagi menunggu beduk. Tapi, penandanya adalah doa yang dibacakan melalui masjid.
"Bahkan ada juga sebagian masyarakat pergi ke kuburan keluarganya untuk menyalakan lampu ini," terangnya.
Hingga kini, kata dia, masyarakat masih menggelar kegiatan ini. Warga juga membawa dulang ke masjid sebagai bekal buka puasa.
Sebagai generasi muda, kata dia, ia berharap tradisi-tradisi semacam ini terus dilestarikan. Tak hanya sebagai pengingat cahaya Quran, namun sebagai identitas masyarakat.
"Saya berharap, ini bisa terus berjalan, sebagai pengingat kita bahwa Quran turun sebagai cahaya penerang bagi umat manusia," pungkasnya. (zaa)
follow OPSINTB.com | News References dan dapatkan update informasi kami di twitter
Follow OPSINTB.com | News References dan dapatkan update informasi kami di Instagram
follow Instagram Kami