opini

30/03/25

Memahami bencana alam sebagai sunnatullah

 
Bencana banjir

Foto : Ilustrasi bencana alam banjir


Oleh: TGH. Habib Ziadi Thohir, M.Pd.I (Pengasuh Ponpes Darul Muhibbin Mispalah Praya, Lombok Tengah)


Di negeri ini, bencana alam datang silih berganti tanpa bisa diprediksi kapan datangnya. Hampir semua jenis bencana yang terdaptar dalam kamus pernah mampir di Republik ini. Datangnya pun tak mengenal musim. Tak pelak korban jiwa banyak berjatuhan. Belum lagi kerugian harta ditaksir sampai bermiliaran bahkan triliunan rupiah. Air mata manusia pun tumpah ruah sebagai alamat kesedihan yang mendalam Bila bencana datang, manusia kembali meratap, memelas iba, dan menanti uluran tangan manusia lain yang terlepas dari bencana.


Wilayah yang tadinya indah, subur, dan nyaman hancur lebur diganyang bencana alam. Di sanalah tampak kekurangan manusia dengan ketidakberdayaannya. Tampak pula kedigdayaan alam atas kuasa Ilahi.


Sebagai manusia memang kemampuan kita terbatas, bahkan menolak air mata menetes pun, sering kita tak sanggup, apalagi menolak datangnya bencana. "Dan manusia dijadikan bersifat lemah" (Q.S. An-Nisa: 28).


Dalam konteks Islam, bencana dapat dianggap sebagai Sunnatullah.


Sunnatullah adalah hukum atau ketetapan Allah yang berlaku di alam semesta. Contoh sunnatullah adalah siklus siang dan malam. Memahami sunnatullah sangat penting karena dapat membantu kita memahami keteraturan dan ketertiban di alam semesta. Bencana dapat dianggap sebagai sunnatullah karena merupakan bagian dari proses alam yang tidak dapat dihindar.


Bencana alam terjadi sebagai dampak ketika keseimbangan alam terganggu akibat ulah manusia. Bencana juga turun akibat penyimpangan manusia dari ajaran Allah serta pembangkangan terhadap kebenaran yang dibawa oleh para Nabi dan Rasul.


Bencana alam merupakan peringatan dari Allah agar manusia kembali ke jalan-Nya.


Dalam Al-Qur'an, bencana atau musibah disebutkan sebanyak 75 kali. Kata musibah sendiri memiliki makna segala sesuatu yang tidak dikehendaki oleh manusia dan tidak sesuai dengan hati nuraninya.


Saat bencana atau musibah turun menimpa manusia, ada beberapa maksud dan tujuan dari peristiwa tersebut.


1. Sebagai Ujian


Bencana dapat dianggap sebagai ujian dari Allah untuk menguji iman, kesabaran, dan ketakwaan manusia. Dalam Al-Quran, disebutkan bahwa Allah akan menguji hamba-Nya dengan berbagai cobaan, termasuk bencana. Firman Allah, "Dan Kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar." (QS Albaqarah 155).


Bencana alam merupakan cara Allah memperbaiki lahir dan batin manusia. Bencana adalah kesempatan untuk muhasabah diri dan mengevaluasi diri untuk memperbaiki perilaku pribadi dan sosial.


2. Bencana Sebagai Teguran


Bencana dapat juga dianggap sebagai teguran dari Allah untuk mengingatkan manusia akan kesalahan dan dosa mereka. Allah SWT mengirimkan musibah sebagai teguran kepada hamba-hamba-Nya yang baik namun lalai.


Musibah dapat menjadi pengingat agar kita lebih berhati-hati dalam tindakan kita. Musibah dapat menjadi kesempatan untuk memperbaiki diri, bertobat, dan mendekatkan diri kepada Allah.


Di dalam Al Quran Allah berfirman : 


وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ


Artinya: "Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allâh memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu)." (QS. As Syura: 30)


مَا أَصَابَكَ مِنْ حَسَنَةٍ فَمِنَ اللَّهِ ۖ وَمَا أَصَابَكَ مِنْ سَيِّئَةٍ فَمِنْ نَفْسِكَ


Artinya: "Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allâh, dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri."(QS An Nisa: 79).


3. Musibah sebagai Hukuman.


Dalam beberapa kasus, bencana dapat dianggap sebagai hukuman dari Allah bagi orang-orang yang melakukan kesalahan dan dosa besar. Namun, perlu diingat bahwa hanya Allah yang mengetahui apa yang sebenarnya terjadi dan apa yang menjadi sebab bencana tersebut.


Contoh bencana berupa Azab seperti yang menimpa kaum terdahulu. Al-Qur'an menyebut kaum-kaum yang dibinasakan juga dengan jenis bencana yang ditimpakan kepada mereka. Kaum Nabi Nuh diseret dan tenggelam karena banjir bandang nan dahsyat, "Maka mereka mendustakan Nuh, kemudian Kami selamatkan dia dan orang-orang yang bersamanya dalam bahtera, dan Kami tenggelamkan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Sesungguhnya mereka adalah kaum yang buta (mata hatinya)" (Q.S. Al-A'raf: 64).


Kaum Tsamud, kaumnya Nabi Shalih digoncang gempa, "Karena itu mereka ditimpa gempa, maka jadilah mereka mayat-mayat yang bergelimpangan di tempat tinggal mereka" (Q.S. Al-A'raf: 7). Kaum 'Ad, kaumnya Nabi Hud disambar petir, "Jika mereka berpaling maka katakanlah: "Aku telah memperingatkan kamu dengan petir, seperti petir yang menimpa kaum 'Ad dan Tsamud" (Q.S. Fusshilat: 13).


Semakin ke sini, perilaku manusia semakin menjadi-jadi dan tidak terkontrol. Kerusakan moral tengah mencapai puncak. Kerusakan lingkungan juga semakin parah dan mengkhawatirkan. Inilah penyebab utama terjadinya banjir bandang jika terjadi hujan lebat di beberapa wilayah di negeri kita.


Satu contoh kerusakan lingkungan yaitu kerusakan hutan yang tidak terkendali. Baru-baru ini dikutip dari jpnn.com, Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) daerah Nusa Tenggara Barat (NTB) membeberkan hasil investigasinya tentang angka kerusakan hutan.


WALHI mencatat kerusakan hutan di NTB saat ini telah mencapai angka yang sangat krusial, yakni 60 Persen dari total kawasan hutan 1.071.722 Juta hektare (Ha).


Akademisi Kehutanan Universitas Mataram (Unram), Dr. Andi Chairil Ichsan menyatakan:


“Berdasarkan data yang ada saat ini, laju deforestasi di NTB mencapai 23 lapangan bola per hari,” ungkap Dr. Andi kepada NTBSatu, Rabu, 12 Maret 2025. Besaran tersebut setara dengan 8.280 hektare per tahun.


Di Lombok Tengah saja, luas kawasan hutan yang ada di wilayah ini tercatat sekitar 20.400 ribu lebih. Namun 78 Persen Hutan di Loteng rusak parah dalam setahun. Akibatnya masyarakat kekurangan 5 juta meter kubik air. (SUARANTBcom).


Kenapa bencana senantisa mengintai kita, padahal orang-orang shalih masih ada dan mereka yang ikhlas tidak sedikit? Ini bukan berarti Allah menzhalimi mereka. Sebab, secara kasat mata mereka mungkin saja ikut jadi korban, tetapi di akhirat memperoleh ganjaran yang sempurna. Berbeda dengan mereka yang tewas dari golongan ahli maksiat yang kafir atau fasiq, tempat mereka kembali ke tempat yang dijanjikan untuk mereka. "Dan Allah tidak menghendaki berbuat kezhaliman terhadap hamba-hamba-Nya" (Q.S. Al-Mukmin: 31).


Mengingat semua itu, peristiwa-peristiwa yang kerap terjadi ini adalah peringataan yang keras. Kita di atas bumi ini tidak pantas berulah. Kita perlu memikirkan bagaimana akhir hidup kita, apa kita mati dalam ketaatan atau kemaksiatan. Dalam menanggulangi bencana, kita tidak bisa berbuat banyak. Tindakan antisipasi yang bisa diupayakan hanya tindakan meminimalisasi jumlah korban jiwa. Lalu apa yang pantas kita sombongkan menghadapi amukan alam yang setia dan selalu mengintai kita. (red)

Memaknai keberkahan Ramadhan dalam berbagi makanan

 
Berkah ramadhan

Foto: Ilustrasi berbagi makanan takjil


Oleh: Fahrurrozi, M.Pd.l (Tenaga Pengajar Fakultas Tarbiyah UIN Mataram)


Mari bertanya pada diri sendiri. Kapankah kita merasa nyaman, damai, merasa lebih bermakna dan bahagia? Saya yakin, orang yang sehat akalnya, bersih jiwanya akan menjawabnya, yaitu ketika dia bisa berbagi, memberi dan menolong orang lain. Tapi anehnya, dalam kehidupan sehari-hari, kita sering mendapati orang yang selalu saja ingin meminta dan menerima belas kasihan orang lain. Padahal, secara materi orang tersebut sudah berlebihan. Dengan kata lain, ada orang yang berlimpah secara materi, tetapi miskin jiwa dan miskin hati. Setiap ada peluang selalu ingin mengambil (taking oriented personality). Bahkan, ada yang tidak segan-segan memperolehnya dengan cara korupsi.


Orang yang jiwanya tercerahkan dan terpenuhi oleh syukur, justru kebahagiaan hidupnya diraih dengan banyak memberi sekalipun pemberiannya itu tidak mesti harus berjumlah besar atau banyak. Melalui hal itu, seseorang akan merasa lebih bermakna dan berharga. Pribadi demikian ini lazim disebut sebagai giving oriented personality atau abundant personality, yaitu pribadi yang berlimpah.


Islam sebagai agama samawi atau sebagai agama langit yang diturunkan oleh Alloh SWT, Yang Maha Pencipta dan Maha Mengetahui kebutuhan manusia memberikan resep hidup nyaman dan bermakna sebagaimana konsep di atas. Salah satu cara Alloh SWT dalam mengingatkan dan mengembalikan arah manusia yang sudah berjalan selama satu tahun di dalam menempuh jalan beraneka ragam warnanya, mulai dari ragam yang dikehendaki-Nya (beribadah) maupun ragam yang tidak dikehendaki-Nya (bermaksiat), yaitu mewajibkan hamba-Nya berpuasa penuh di bulan Ramadhan.


Kita ketahui, bahwa nilai dari ibadah puasa bukan sekedar menahan lapar dan dahaga. Tetapi mencoba mengingatkan seorang muslim untuk berbagi rasa tentang bagaimana hidup dalam kekurangan. IsIam sebagai agama rahmat bagi seluruh alam semesta, mencoba mendidik pemeluknya agar memiliki kesadaran untuk mau berbagi rasa tentang keadaan orang yang mengalami kelaparan dan kekurangan.


Ketika nilai dari ibadah puasa itu sudah dimiliki oleh seorang sho’imin atau orang yang mengerjakan ibadah puasa, maka orang tersebut akan memiliki kepekaan sosial yang tinggi. Bagaimana tidak, salah satu ajaran yang ditekankan dalam pelaksanaan ibadah puasa, selain ibadah vertikal atau ibadah untuk memperbaiki hubungan kita dengan Alloh SWT, seperti memperbanyak membaca al-Qur’an, merutinkan sholat malam atau qiamullaili, berdzikir, beristighfar. Hal lain yang juga harus diperhatikan yaitu memperbaiki ibadah horizontal atau ibadah yang berhubungan dengan sesama manusia seperti memperbanyak sedekah.


Bulan Ramadhan disebut juga syahru muwasah atau bulan bersimpati dan menolong kepada fakir miskin dengan berbagi (bersedekah). Pada bulan Ramadhan seorang muslim dianjurkan untuk memperbanyak sedekah atau berbagi dengan sesama, seperti berbagi  takjil atau berbagi makanan untuk berbuka puasa. Hal tersebut sebagai bentuk implementasi dari hadits nabi yang mulia Muhammad SAW. yang artinya: “Dari Zaid bin Khalid Al Juhani bahwa Rasulullah Saw.  bersabda: Barang siapa memberi makan berbuka puasa bagi orang yang berpuasa maka ia mendapat seperti pahala orang-orang yang puasa tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun."


Nilai-nilai kemanusiaan dalam Islam memang sesuatu yang bersifat mutlak. Kemutlakan tersebut berdasarkan atas apa yang menjadi tujuan dari Islam itu diturunkan. Semua aturan yang ada di dalam Islam adalah kebutuhan manusia dengan manusia lainnya dan alam semesta. Bukan atas kebutuhan Alloh SWT sebagai Sang Pencipta, karena Alloh SWT tidak membutuhkan makhluk-Nya atau mengambil keuntungan dari yang Dia ciptakan.


Dengan demikian, sangatlah jelas konsep kita dalam beriman dan berislam. Nilai keimanan sering dikaitkan dengan konsep kita dalam membangun hubungan kemanusiaan kita. Sebagaimana hadits Nabi Muhammad Saw. yang berbunyi: “kamu semua tidak akan masuk surga sampai beriman, dan tidak (sempurna) keimanan kamu semua sampai saling mencintai diantara kalian.” (HR. Muslim).


Bersedekah termasuk salah satu dari amal utama di bulan yang sangat mulia ini dan memiliki keistimewaan dan kelebihan. Hal ini dapat menjadi motivasi bagi seorang muslim agar menjadi lebih dermawan. 

Belajar dari Rasulullah Saw. sebagai manusia paling dermawan. Dimana beliau lebih dermawan ketika berada di bulan Ramadhan. Beliau bersabda, “Shadaqah yang paling utama adalah shadaqah pada bulan Ramadhan.” (HR. al-Tirmidzi dari Anas).


Tidak salah kiranya, ketika konsep bersedekah di bulan ini kita bawa ke ranah implementasi yang lebih luas, yaitu bukan sekedar berakhir pada proses memberi makan untuk orang-orang yang berpuasa. Tetapi lebih dari itu, yaitu memberi makan untuk orang-orang yang sedang menuntut ilmu, sesuai dengan program yang sedang dicanangkan dan dijalankan oleh pemerintah kita yaitu program MBG (Makan Bergizi Gratis).


Belajar dermawan di bulan yang mulia ini semoga bisa dilanggengkan bahkan ditingkatkan setelah kita melewati bulan Ramadhan ini. Mari bersama kita buktikan keberhasilan kita membangun kesadaran tentang arti dari kedermawanan dan kepedulian kepada sesama dengan berikhtiar mensukseskan program pemerintah kita yaitu program MBG (Makan Bergizi Gratis).


Program MBG (Makan Bergizi Gratis) melibatkan banyak pihak, baik dari kalangan pemerintah maupun swasta, baik kelompok maupun personal. Semoga setiap orang yang terlibat dalam program ini tidak hanya memiliki orientasi keduniaan seperti hanya sekedar mencari penghasilan finansial (mengejar gaji atau keuangan) tetapi memiliki orientasi ukhrawi atau berniat untuk ibadah. Melanjutkan nilai-nilai pendidikan yang sudah dijalankan pada bulan Ramadhan, yaitu meningkatkan kualitas kepedulian terhadap sesama dalam wujud berbagi atau bersedekah dengan apapun yang kita miliki, baik dengan pikiran, tenaga ataupun dengan keuangan. Semoga Alloh SWT memberikan kemudahan dalam membiasakan dan menjalankannya, aamiin..


Wallahu a'lamu bishowab.

21/03/25

Memanjat Doa Menggugat Tahta

 
Memanjat Doa Menggugat Tahta

Penulis:

Abdul Ali Mutammima Amar Alhaq, S.Sos

Mahasiswa Magister Hukum Keluarga Islam UIN Mataram


Bulan suci Ramadhan selalu menjadi bulan yang dinantikan oleh setiap insan, bulan yang begitu istimewa. Bulan di mana umat Islam di seluruh dunia menahan diri dari perbuatan perbuatan yang negatif, bulan suci yang juga sebagai bentuk pengendalian diri serta penyerahan diri kepada sang maha kuasa Allah SWT dan sebagai bulan refleksi atas kehidupan sosial. Namun, di tengah kegiatan puasa dan ibadah lainnya, situasi kebangsaan hari ini diselimuti oleh aksi demonstrasi dan protes yang begitu keras menggema di ruang publik. Artikel ini mengajak para pembaca untuk menyelami korelasi antara doa yang terus melangit dalam kesucian bulan Ramadhan dan aksi demonstrasi sebagai bentuk keresahan rakyat. Meski nampak bertolak belakang, tetapi memiliki potensi untuk menyatukan harapan dan memperkuat jati diri bangsa.

 

​Era yang kian modern dan arus informasi begitu cepat, dinamika politik Indonesia kian kompleks. Demonstrasi yang terjadi akhir-akhir ini menjadi sebuah cermin keinginan masyarakat untuk menyuarakan aspirasi terhadap kebajikan-kebijakan yang dianggap tidak berpihak pada keadilan dan kesejahteraan. Di sisi yang berbeda, demonstrasi adalah bentuk ekspresi demokrasi, manifestasi hak rakyat untuk menolak kebijakan yang dianggap memiliki dampak negatif, Di sisi yang lain juga, bulan suci Ramadhan hadir sebagai bulan untuk merenung, mencari pencerahan serta menyucikan hati dengan berbagai ritual keagamaan. 

 

​Korelasi keduanya nampak jelas bilamana kita melihat bahwa dibalik setiap aksi demonstrasi, tersimpan harapan agar bangsa yang besar ini dapat berubah menjadi bangsa yang lebih baik. Sementara itu, dibalik setiap detak doa, terselip keinginan untuk mendapatkan ampunan, kebijaksanaan dan kekuatan untuk menghadapi tantangan kehidupan berbangsa dan bernegara. Di sinilah letak benang merah yang menghubungkan dua dunia yang tampak berbeda tersebut.

 

Harapan di Tengah Gejolak


​Doa sejatinya merupakan bahasa hati melampaui kata-kata. Di bulan yang penuh barokah, doa menjadi lebih intens melangit, meresap dalam setiap helaan nafas setiap insan yang berharap agar segala dosa diampuni dan setiap kesulitan yang dihadapi diberikan pintu kemudahan. Doa dalam bulan suci Ramadhan, juga bermakna pembersihan jiwa dan pembaruan semangat. Dalam hal ini, doa tidak hanya berlaku bagi kehidupan personal, tetapi juga bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Di balik doa yang terus melangit, ada harapan kolektif untuk mendapatkan pencerahan dalam menghadapi kehidupan  kebangsaan yang kompleks. 

 

​Ketika bumi senyap dan suara hati lebih nyaring terdengar, malam-malam itu bukan sekadar rentang waktu yang bergulir menuju fajar. Ia adalah ruang hening tempat doa-doa berbisik lebih dalam, berharap dijawab Sang Pemilik Cahaya. Dalam tiap detak jantung yang mengiringi doa, ada keyakinan bahwa harapan mampu mengubah keadaan. Di tengah kebijakan kontroversial dan gemuruh demonstrasi yang menuntut perbaikan, detak doa menjadi simbol ketenangan—pengingat bahwa di balik setiap masalah tersimpan hikmah. Doa pun bukan sekadar ritual keagamaan, melainkan perlawanan sunyi, penguatan diri untuk tetap berharap dan berusaha tanpa kekerasan.

 

Suara Rakyat Dalam Tindakan


​Aksi demonstrasi m merupakan cerminan suara yang ingin didengar oleh para pemegang kekuasaan. Demonstrasi terjadi dimata-mana, demonstrasi juga terjadi melalui media sosial yang merupakan perlawanan terhadap kebijakan yang dirasa tidak adil. Demonstrasi muncul sebagai respons terhadap kebijakan pemerintah yang dinilai otoriter. Salah satunya adalah pengesahan RUU TNI menjadi Undang-Undang oleh DPR pada hari Rabu kemarin, yang memicu kekhawatiran akan potensi dominasi militer dalam ranah politik dan kehidupan sipil.

 

​Walau kemudian demonstrasi identik dengan konflik, tetapi pada dasarnya demonstrasi adalah cermin dari dinamika demokrasi yang sehat. Dalam setiap aksi protes, mengandung pesan bahwa keinginan untuk menghadirkan negara yang lebih transparan, adil dan demokratis. Namun, yang menjadi tantangan kini adalah bagaimana mengharmonisasikan semangat protes dengan nilai-nilai perdamaian yang sejatinya harus melekat dalam kehidupan, beragama, berbangsa, dan bernegara khususnya di bulan suci Ramadhan. 

 

​Melihat kedua fenomena tersebut, kita dapat menemukan sebuah kontradiksi yang justru menyimpan potensi energi. Ramadhan mengajarkan untuk setiap manusia untuk bersabar, menahan diri, dan memperbanyak introspeksi diri. Tetapi di satu sisi, demonstrasi adalah wujud keberanian untuk menyuarakan kebenaran, menuntut perubahan dan keadilan. Nilai-nilai ini walau nampak berbeda, tetapi dapat saling melengkapi. 

 

​Ketika dipadukan dengan aksi nyata, maka terciptalah suatu bentuk perlawanan yang tidak hanya menolak ketidakadilan, tetapi juga membangun harapan baru. Misalnya, gerakan sosial yang muncul di bulan suci Ramadhan mengedepankan solidaritas sosial, saling membantu sesama, dan mengusung semangat gotong royong. Nilai-nilai inilah sangat relevan dalam konteks demonstrasi yang menuntut reformasi kebijakan. Dengan mengintegrasikan nilai spiritual, aksi protes pun tidak berfokus pada kritik semata, melainkan juga menawarkan solusi konstruktif untuk perbaikan bangsa. 

 

​Dengan menyatukan kekuatan doa dan aksi, bangsa ini dapat kembali menemukan ruh kebersamaan yang kerap terlupa. Harapan itu perlu disemai dalam dialog yang tulus, di ruang publik maupun ruang batin. Pemerintah, tokoh agama, dan rakyat hendaknya berpadu, mencipta kebijakan yang tidak hanya menjawab tuntutan zaman, tapi juga menjaga nilai-nilai kemanusiaan. Dalam detak doa yang menyusup di sela demonstrasi, ada asa untuk menyeimbangkan hak dan kewajiban, kritik dan kepeduliansebagai sebuah harapan akan keadilan yang lebih beradab.

 

​“Detak Doa di Balik Demonstrasi: Menemukan Makna Kebangsaan di Bulan Suci” adalah sebuah refleksi mendalam tentang bagaimana Ramadhan bisa menjadi jembatan sunyi antara spiritualitas dan perlawanan terhadap ketidakadilan. Doa-doa yang lirih dipanjatkan di malam-malam sepi menjadi bahasa pengharapan dan penyucian jiwa, sementara demonstrasi adalah teriakan lantang keberanian yang ingin mengoreksi arah kebijakan yang dirasa menyimpang. Di persimpangan keduanya, ada potensi untuk merajut reformasi yang tidak hanya menyembuhkan luka-luka struktural, tetapi juga mengembalikan nilai-nilai kemanusiaan dalam tatanan bangsa yang kian rapuh. Sinergi ini, meski sering tersembunyi di balik gema suara dan keheningan, adalah cerminan hasrat kolektif menuju keadilan yang lebih manusiawi.

 

​Dalam konteks kebangsaan yang tengah diuji, detak doa di bulan Ramadhan menginspirasi setiap individu untuk tidak hanya menunggu perubahan, tetapi aktif berpartisipasi dalam mewujudkannya. Dengan mengintegrasikan kekuatan spiritual dan semangat demokrasi, kita dapat menata kembali perjalanan bangsa menuju masa depan yang lebih adil, damai, dan bermartabat. Semoga di balik setiap aksi protes yang terdengar, terdapat gema doa yang menguatkan tekad, dan di balik setiap doa yang dipanjatkan, terwujudlah perubahan nyata bagi Indonesia tercinta.

01/02/25

Meneladani sikap cinta tanah air dan bela bangsa dari Rasulullah SAW

 
Meneladani sikap cinta tanah air dan bela bangsa dari Rasulullah SAW
Foto: Ilustrasi

Oleh: Pahrurrozi, M. Pd.I, Tenaga Pengajar Fakultas Tarbiyah UIN Mataram 


Assalamu’alaikum warohmatulohi wabarokatuh


Hari ini ketika seseorang ditanya tentang bagaimana ia bernegara kemudian menghubungkan konsep bernegara dengan hadits yang berbunyi “mencintai negara adalah bagian dari iman”, kemungkinan besar ia akan terdiam sambil manggut-manggut. Membenarkan bahwa mencintai negara adalah bagian dari iman, tetapi sembari berpikir tentang apa yang telah ia perbuat untuk negaranya.


Kata iman dan negara adalah dua kata yang memiliki arti berbeda, baik dari segi bahasa maupun istilah. Iman berhubungan dengan sesuatu yang tidak terlihat (ghaib), nilai rasa terhadap suatu keyakinan seseorang, suasana kebatinan. Sedangkan kata negara tertuju pada sesuatu yang bersifat kasat mata (tangible), memiliki unsur-unsur yang meliputi: rakyat, wilayah, dan pemerintahan yang berdaulat serta adanya pengakuan dari negara lain. Jika melihat dua hal tersebut (iman dan negara) secara terpisah (parsial) akan membuat kita  kaku untuk merefleksikan nilai-nilai yang terkandung dalam hadits nabi tersebut. Oleh karena itu, marilah kita berusaha melihatnya secara utuh dan menyeluruh (universal).


Sebagaimana uraian di atas, bahwa kita sebagai rakyat dan tempat tinggal kita sebagai wilayah negara adalah bagian dari unsur-unsur negara. Kedua hal tersebut memiliki hubungan yang tidak bisa terpisahkan. Ketika seseorang menyadari dirinya sebagai bagian dari sebuah negara dan menyadari bahwa mencintai negaranya adalah bagian dari iman yang mencerminkan bentuk kepatuhannya kepada Allah SWT, maka dia akan berusaha untuk memberikan kontribusi yang baik bagi negaranya. 


Usaha atau ikhtiar seseorang untuk berkontribusi kepada negara sering disalahmaknai ketika dia tidak menyadari bahwa dirinya adalah bagian dari unsur-unsur negara. Makna berkontribusi pada negara, sering diartikan sebagai sesuatu yang besar dan sulit direfleksikan. Bagaimana tidak? Orang pada umumnya melihat bahwa menjadi pahlawan negara atau menjadi orang yang bermanfaat bagi negara harus memiliki klasifikasi tertentu, seperti memiliki suatu kelebihan yang diakui oleh orang banyak. Ketika kita terbelenggu dalam suasana pemaknaan sebagaimana di atas, maka tindak lanjut (follow up) dari konsekuensi hadits tentang mencintai negara adalah sebagian dari iman, hanya akan berakhir sebagai bahan diskusi yang tidak bisa dilaksanakan atau akan bermuara pada tataran konsep retorika yang bersifat statis. 


Nabi sebagai teladan dalam semua aspek kehidupan seorang muslim telah memberikan contoh bagaimana beliau mencintai tanah kelahiran dan tempat tinggalnya (negaranya). Banyak hadits yang bisa kita temukan terkait anjuran bagi seorang muslim agar bisa menjadi bagian dari orang yang suka menebar kebaikan. Apabila setiap muslim berusaha menebar kebaikan atau memberi manfaat bagi lingkungan sekitarnya, maka akan berpengaruh terhadap keadaan negara yang ditempatinya.


Mencintai tanah air dan membela bangsa sebagaimana diajarkan oleh Rasulullah Saw. tidak meski harus dimulai dengan sesuatu yang besar. Mencintai tanah air dan membela bangsa sesungguhnya bisa dimulai dari mencintai diri sendiri dan berusaha memperbaikinya dengan menanamkan nilai-nilai kebaikan. Contoh kecil saja, ketika seseorang mengimani hadits nabi, menyadari dirinya sebagai bagian dari sebuah negara, dan tempat tinggalnya sebagai bagian dari wilayah negaranya. Dengan sendirinya, dia akan tergerak untuk memelihara kebersihan dan kenyamanan tempat tinggalnya atau berusaha memberikan yang terbaik bagi orang lain di sekitarnya. 


Ketahuilah bahwa sekecil atau sesederhana apapun yang kita lakukan, selama itu merupakan bukti dari mematuhi perintah-Nya dan perintah nabi-Nya serta  bertujuan untuk memberikan kebermanfaatan untuk orang lain. Maka, pasti kita akan mendapatkan balasan yang terbaik dari-Nya. Sebagaimana hadits dalam riwayat Abu Hurairah, Rasulullah Saw. bersabda, yang artinya “Saat seorang pria sedang berjalan, tiba-tiba ia mendapati sebuah dahan berduri yang menghalangi jalan. Kemudian ia menyingkirkannya. Maka Allah bersyukur kepadanya dan mengampuni dosa-dosanya”.


Kita mengimani bahwa Rasulullah Saw. diutus sebagai rahmat (yang memberikan kebaikan) bagi seluruh alam (rahmatan lil 'alamin). Dengan demikian, apapun konsep beliau tentang sikap seorang muslim terhadap tempat tinggalnya (negaranya), sudah pasti mendatangkan kebaikan bagi negara tersebut. Oleh karena itu, marilah kita mulai dari diri sendiri. Perbaiki diri, tanamkan nilai-nilai kebaikan dalam bermasyarakat, jaga perasaan setiap orang yang berada di sekitar kita agar mereka nyaman dengan apa yang kita lakukan. Sehingga akan muncul suasana rasa kebersamaan saling menghargai, menghormati dan menyayangi yang menjadi landasan dari semangat persatuan dan kesatuan kita di dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

© Copyright 2021 OPSINTB.com | News References | PT. Opsi Media Utama